Nasionalisme Es Teh: Pak Sonhaji, Gus Miftah dan Ben Anderson

 


sekolah riset satukata,-

Pada bulan Desember 2024, di sebuah acara pengajian, ada seorang laki-laki, yang menjual es teh dengan cara diasong. Dagangannya itu ia taruh di sebuah nampan persegi empat, lalu diletakkannya di atas kepala. Laki-laki itu bernama Sonhaji. Sampai di tengah pengajian yang diisi oleh pria yang biasa dipanggil Gus Miftah itu, dagangannya belum banyak laku.

Sambil berjalan menyibak kerumunan jemaah pengajian malam itu, Sonhaji terus menawarkan es tehnya. Tiba-tiba, Miftah, yang saat itu mengisi acara, meneriakinya dari atas podium, “es tehmu belum laku?!, ya sana dijual, goblok!”. Pernyataan itu diikuti gelak tawa beberapa orang yang duduk di sisi kanan dan kirinya. Mereka kelihatan seperti menikmati kelakar itu.  

Kita tahu apa yang terjadi setelah potongan videonya tersebar luas, publik bereaksi, kemarahan netizen tak terbendung lagi, Miftah dihujat, dan Sonhaji jadi sasaran simpati.

Sebagian berpandangan Miftah melakukan “penghinaan” kepada orang kecil yang sedang mencari nafkah—soal adab, etika dan sopan santun, serta akhlak. Ada juga yang melihat sisi keajaiban Tuhan dalam bagaimana mengangkat derajat seseorang—soal teologi dan takdir Tuhan. Yang lain mencoba menyelamatkan Miftah dengan memposisikannya seperti wali yang rela dihujat untuk menaikkan derajat seseorang—sufisme dan cerita orang suci. Sebagian yang lain meminta untuk tidak memperpanjang masalah karena kata-kata yang dilontarkan Miftah itu hanya kelakar untuk membuat suasana jadi lebih akrab (gayeng)—status sosial kaum gus. Dan lain-lain.

Sebetulnya kalau kita tengok ke belakang, apa yang terjadi pada Miftah vs Sonhaji itu bukan satu-satunya. Ada banyak peristiwa serupa sebelumnya dengan derajat sentimen publik yang berbeda-beda. Misalnya kasus koin untuk Prita (2008-2012), Cicak vs Buaya (2009), Jokowi vs Bibit Waluyo (2011), Ahok vs Anies (2017), dan lain sebagainya.

Jangan coba-coba meremehkan hal-hal seperti ini, dengan misalnya menganggapnya terlalu lebai. Kita akui atau tidak kasus-kasus seperti itu punya kekuatan yang menentukan. Bahkan seseorang bisa kehilangan pengaruh kekuasaan karenanya. Tidak hanya itu, ia juga bisa mengubah konstelasi politik dan kebijakan. Koin untuk Prita misalnya, kasus ini berhasil menyatukan ketidakpuasan publik dan berujung pada upaya kolektif mereformasi sistem kesehatan nasional. Meskipun sekarang sudah seperti asuransi biasa tapi kita lalu punya BPJS.

Kasus Cicak vs Buaya berhasil membawa kita memperkuat posisi KPK dan mengeratkan rajutan solidaritas gerakan anti korupsi di Indonesia. Kasus Jokowi vs Bibit Waluyo berhasil mengerek Jokowi naik tinggi hingga jadi orang nomor satu di republik ini dengan terus mencitrakan diri sebagai orang sederhana, polos dan kelihatan tidak terlalu ambisus. Ahok vs Anies yang berhasil memobilisasi politik identitas, selain sukses membawa Anies menduduki kursi gubernur DKI, juga menjadi sumber dari relevelannya politik moderasi beragama sampai saat ini.  

Kalau kita perhatikan agak lebih jenak apa yang terjadi dengan Gus Miftah dan Pak Sonhaji, juga peristiwa-peristiwa serupa lainnya, sebetulnya memberitahu kita beberapa hal penting dan menarik. Pertama, di dalam masyarakat kita ini seperti ada sesuatu yang beroperasi dan berfungsi seperti sebuah screen. Yang kedua, screen ini melakukan penyaringan terhadap fenomena apa saja, terutama fenomena yang punya efek traumatik.  

Yang ketiga, ketika sebuah fenomena tersebut masuk dalam penyaringan screen itu, masyarakat atau netizen seperti tergiring untuk melihat siapa yang salah dan siapa yang benar, siapa korban dan siapa pelaku, siapa orang kecil dan siapa orang besar, siapa yang ditindas dan siapa yang menindas.

Yang keempat, screen tadi punya efek yang sangat kuat dalam mengubah susunan sosial. Misalnya, siapapun yang kemudian masuk dalam kotak salah-arogan-penindas harus siap-siap kehilangan kekuasaan. Sebaliknya siapa yang masuk dalam kategori tertindas-orang kecil-tidak berdaya, akan dengan cepat mendapatkan simpati luas.

Mungkin kita bisa menyanggah, misalnya dengan mengatakan dalam cerita Miftah vs Sonhaji itu, yang menentukan bukan screennya tapi angel kamera, potongan video, dan penyebarannya lewat dunia digital. Boleh saja tapi rasanya akan lebih tepat kalau dikatakan bahwa kombinasi dari tiga hal itu baru bisa punya efek luar biasa justru ketika dioperasikan oleh screen tersebut. Tanpa adanya screen itu, semua hanya akan menjadi peristiwa biasa saja.

Terus pertanyaan kita screen itu apa dan bagaimana dia beroperasi? Ada seorang penstudi politik Indonesia yang lama sekali menyadari tentang kekuatan screen ini namanya Ben Anderson (1936-2015). Sampai-sampai dia berpikir bahwa kalau kita bisa tahu screen itu dan bagaimana cara kerjanya, kita bisa menjelaskan politik Indonesia. Dia lalu menulis banyak buku untuk menjelaskan screen itu, tapi salah satu buku yang terkenal berjudul The Idea of Power in Javanese Culture (1972).

Lalu apa yang menarik dari yang dikerjakan oleh Ben ini?  Yang menarik, Ben tidak menggunakan istilah screen tapi yang dia pakai adalah power. Ini karena memang ketertarikannya yang paling utama tertuju pada bagaimana menjelaskan politik Indonesia. Dan power atau kekuasaan memang merupakan inti paling dasar dari semua kajian tentang politik. Kita bisa tahu banyak hal tentang politik Indonesia kalau kita bisa memahami bagaimana power dalam masyarakat ini beroperasi.

Dari kajiannya yang panjang tentang kekuasaan itu, Ben melihat jenis power yang berbeda dengan hal serupa sebagaimana dipraktikkan dalam tradisi Barat. Dalam masyarakat Jawa, menurut Ben, kekuasaan itu konkrit bukan abstrak. Maksudnya kekuasaan beroperasi secara independen di luar kita, dan memiliki kekuatan membentuk diri kita. Dengan kata lain, kita tidak bisa menciptakan kekuasaan, tapi kekuasaanlah yang menciptakan kita.

Kekuasaan itu juga sering sekali diidentikkan dengan divine energy. Energi metafisis ini sudah ada sebelum manusia bahkan dialah yang menggerakkan seluruh sistem operasi alam semesta. Kekuasaan yang seperti ini bisa melekat bukan hanya pada manusia tapi juga pada benda-benda. Entah itu benda atau manusia, ketika dilekati kekuasaan ini, ia seperti punya kualitas yang lebih dari lainnya.

Berbeda sekali dengan kekuasaan Barat yang Weberian, kekuasaan ini tidak bisa diakses dengan cara kontestasi melainkan dengan cara membersihkan diri dalam disiplin tertentu yang bersifat asketis. Siapapun yang pernah dilekati kekuasaan tapi dia tidak menjaga disiplin, ia satu saat tanpa disadarinya bisa dengan mudah ditinggalkan oleh kekuasaan.

Yang dimaksud disiplin ini juga termasuk menjaga kata-kata. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa di Jawa ada stratifikasi bahasa sampai tiga tingkat. Ada bahasa ngoko (kasar), ada bahasa krama (halus), dan ada bahasa krama inggil (sangat halus).

Kalau kita pakai cerita ini dalam melihat Sonhaji, di situ mungkin menunjukkan Miftah sedang dalam proses ditinggal pergi oleh divine energy. Lalu kemana divine energy yang berpindah ini melekat? Divine energy ini kemudian melekat pada es teh dan menyatukan publik dalam semangat kolektif membela yang lemah.

Begitulah kira-kira proses bagaimana nasionalisme es teh ini terbentuk tapi ia belum sampai punya efek mengubah struktur sosial atau kebijakan tertentu seperti peristiwa-peristiwa lain sebelumnya. [ATI]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi