Negara sebagai Propertinya, dan Kenapa Kita Masih di Situ-Situ Saja?
sekolah riset satukata,-
Hal yang menggembirakan, dari baik perhelatan
pemilukada serentak maupun pilpres dan pileg tahun 2024, adalah begitu besarnya
animo dan antusisme warga untuk turut berkontestasi elektoral. Meskipun tak
menutup mata adanya apatisme yang menguat di beberapa daerah, di mana yang
menang justru kotak kosong, atau angka golput yang tinggi.
Selain merupakan capaian yang membanggakan karena semua
berjalan aman dan damai, kita juga menyaksikan keinginan masyarakat untuk
menjadi bagian dari negara masih cukup besar. Menarik untuk menelisik lebih
jauh femonena itu.
Kita mulai dengan mengajukan pertanyaan, kenapa animo
warga untuk masuk ke negara (masih) begitu besar?
Boleh-boleh saja untuk mengatakan bahwa ini adalah pertanda
dari tingginya kesadaran politik masyarakat. Juga sah untuk berpendapat bahwa
itu merupakan indikasi dari keberhasilan partai politik dalam menjalankan
fungsinya sebagai pengisi jabatan publik.
Juga tidak keliru kalau misalnya melihat fenomena itu
sebagai keberhasilan kerja para penyelenggara pemilu. Mungkin juga ada yang
saking gembiranya lalu mengatakan kita sudah mencapai tingkat kematangan yang
tinggi dalam berdemokrasi.
Ini bukan mau mengatakan bahwa semua itu tidak ada
artinya. Bukan. Jelas, harus diakui, ada banyak hal yang berubah
sejak semua itu dilakukan. Tapi kita mencoba melihatnya dari sisi yang lain,
sisi yang berbeda, dan mungkin dengan itu bisa membuat kita bisa punya jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang disingkirkan dan sengaja dibiarkan untuk tidak
dijawab.
Kalau misalnya kita pinjam teori elit untuk
menjelaskan, animo besar untuk masuk ke negara itu karena memang di Indonesia
ini orang merasa penting menjadi elit. Penjelasan elit ini masih oke,
setidaknya ia bisa mengantarkan kita melihat sisi lain yang belum tersentuh.
Dan sisi lain itu adalah, kalau misalnya kita setuju
dengan penjelasan elit itu, berarti jangan-jangan sebenarnya elit ini diciptakan
oleh negara. Jadi, sebetulnya negaralah yang punya kemampuan membuat seseorang menjadi
elit atau tidak.
Kelihatan lebih terang sekarang kenapa banyak sekali
orang berbondong-bondong masuk ke negara dengan berbagai cara, dengan harapan
saat sudah di dalamnya, negara akan mengubahnya menjadi elit. Karena itu,
berapapun ongkos politiknya akan tetap dia bayar.
Ini mungkin bisa jadi penjelasan lain bagi yang masih
mencari jawaban dari pertanyaan mengapa di Indonesia ini politik uang masih
dilakukan dan susah untuk dihilangkan.
Kalau kita setuju bahwa elit diciptakan negara, bukan oleh elit itu
sendiri yang menciptakan dirinya sendiri, pertanyaan kita selanjutnya adalah negara
seperti apa sih yang bisa menciptakan
elit itu?
Ada banyak cara untuk menjelaskannya, memang. Untuk
kesempatan kali ini kita akan coba meminjam tradisi Marxis. Secara sederhana tradisi
Marxis ini melihat negara terbentuk melalui pertarungan dua kelas, borjuasi dan
proletariat. Borjuasi adalah kelas yang memiliki jarak sangat dekat dengan alat
produksi (sumber daya, properti, teknologi, pengetahuan, organisasi, tenaga
kerja, dll). Sedangkan kelas proletar sebaliknya. Relasinya dengan alat
produksi relatif lebih jauh.
Di masa lalu, properti sangat penting yang dikuasai kelas borjuis ini salah
satunya tanah. Penguasaan terhadap tanah membuat kelas atas leluasa menciptakan
rupa-rupa sistem aturan yang menguntungkan mereka. Inilah yang membuat Marx berkesimpulan
bahwa negara adalah alat kaum kapitalis untuk melanggengkan kekuasaan.
Mungkin cara melihat Marxisme itu cocok untuk menjelaskan
transformasi sosial (revolusi) di Eropa. Di sana, perlawanan terhadap kelompok
yang menguasai alat produksi melahirkan revolusi seperti terjadi di Prancis dan
Inggris.
Persoalannya apakah juga itu bisa digunakan untuk
menjelaskan Indonesia? Orang-orang yang mencoba menerapkan Marxisme dalam
mengkaji Indonesia misalnya Wertheim (1956), Rex Mortimer (1974) atau Richard
Robison (1986), mungkin berpendapat bahwa ketika melihat Indonesia, skema
Marxisme itu perlu dimodifikasi.
Mengapa demikian, yang pertama, kalau kita cermati,
tidak seperti di Eropa, sebetulnya basis kekuasaan di Indonesia itu bukan
properti atau tanah. Kenapa ini bisa terjadi? Sebab propertinya sudah sejak lama hilang
karena diambil orang lain, dan orang lain itu adalah Belanda. Inilah yang
menjelaskan kalau di tempat lain perlawanan terhadap penguasaan properti
melahirkan revolusi (Perancis dan Inggris), di Indonesia yang terjadi adalah perang
kemerdekaan.
Dari sana bisa kita mengerti sekarang kenapa di Indonesia ini retorika
“anti asing” kuat sekali pengaruhnya. Karena anti asing itu sama maksudnya
dengan nasionalisme mengusir penjajah dan menghukum pencuri. Presiden yang baru
sekarang sering sekali menyebut “anti asing”, “ancaman asing”, “kekuatan
asing”.
Kalau pakai psikoanalisis, retorika anti asing itu bisa
sangat membius karena kita punya truma kolektif yang mendalam. Di mana properti (enjoyment) kita pernah diambil atau
dicuri orang lain dalam waktu yang sangat lama.
Di masa sebelum merdeka, yang disebut kelas borjuasi
itu adalah pemerintah Belanda, atau orang-orang yang dipekerjakannya sebagai
pegawai. Ketika Belanda ini pergi, kelas yang menguasai properti tadi sudah tidak ada lagi. Di sisi
lain, kelas yang menggantikannya tidak bisa menguasainya dan mengelolanya
langsung.
Satu-satunya perangkat, yang ditinggalkan Belanda, dan
melaluinya orang bisa menguasai properti adalah negara. Ini membawa kita jadi
tahu bahwa di Indonesia ini orang harus masuk dulu ke negara agar dia
bisa memendekkan jarak dengan properti atau alat produksi tadi. Jadi kalau dari perspektif ini para politisi itu sudah Marxis duluan meskipun belum membaca Marx.
Saking pendeknya jarak antara negara dan properti tadi,
dalam perkembangan selanjutnya, negara itu sendirilah yang kemudian menjadi
propertinya. Sebagai properti, negara ini lalu menjadi basis dari kekuasaan. Kita
sekarang dengan sangat biasa melihat orang menganggap politik itu ada di
wilayah negara, bukan di luarnya.
Inilah yang menjelaskan kenapa menjadi bagian negara
itu penting karena bisa memberi seseorang semacam kekuasaan yang bisa
dikonversinya menjadi status sosial, peluang usaha, perluasan jaringan, jaminan
hidup, uang pensiun, tabungan hari tua, kesejahteraan keluarga dan seterusnya.
Negara yang semacam ini kemudian punya empat karakter.
Yang pertama, ia akan mengurus apa
saja—mulai dari urusan tambang sampai urusan ranjang, termasuk kata-kata apa
yang boleh dan tidak boleh diucapkan di jejaring media sosial.
Kedua, negara seperti ini akan
membuat aturan yang banyak sekali. Kalau bisa tidak ada satu celah pun yang
luput dari aturan. Yang ketiga, dia
akan “menjewer” siapapun yang bikin keonaran. Yang keempat, dia akan berusaha membuat dirinya menghasilkan profit
sebanyak-banyaknya.
Karena itu, kadang kita sulit membedakan siapapun yang
memimpin negara ini, kadang kelihatan sebagai presiden, di waktu yang lain ia
tampil seperti gubernur jenderal Hindia Belanda, dan kadang berperilaku
layaknya seorang direktur utama perusahaan dagang VOC.
Pemerintah negara ini bisa diinjeksi dengan sistem apa
saja, tapi ceritanya kurang dan lebih akan tetap sama. [ATI]
Komentar
Posting Komentar