Matematika dan Algoritma: Inefisiensi Demokrasi atau Inequality Demokrasi?
Baru-baru ini sedang ramai perbincangan tentang
demokrasi kita yang katanya tidak efisien, boros dan berbiaya mahal. Lalu ada
pemikiran untuk mengembalikan cara pemilihan yang lebih efisien, sehingga
kepala daerah, dan presiden nantinya kembali dipilih oleh parlemen, persis
seperti Indonesia di masa dulu.
Perlu digarisbawahi bahwa ini bukan ide baru, apalagi
ide yang orisinal. Pikiran itu sudah muncul sejak kita menerapkan demokrasi
elektoral langsung. Bahkan, nanti kita lihat, pikiran itu sebetulnya
mereproduksi sesuatu yang lebih lama lagi dalam melihat (politik) Indonesia. Mereka
yang berdebat tentang demokrasi inefisien itu terbelah dua antara yang setuju
dan yang tidak setuju dan masing-masing membangun argumennya sendiri-sendiri. Tapi
kita coba tidak masuk ke dalam dua kubu yang saling menolak itu.
Untuk itu yang perlu kita lakukan adalah mencoba
melihatnya dari sisi lain, yang mudah-mudahan dengan cara ini kita terbantu
melihat gambar besarnya, dan dengan gambar itu kita jadi semacam bisa meneroka
bagaimana Indonesia pasca 2024 ini berpikir. Untuk memulainya coba kita melihat
hubungan dari hal-hal yang kelihatannya centang perenang berikut ini:
“ekonomi bocor”, “anak-anak harus belajar matematika,
sains dan algoritma sejak dini”, “demokrasi kita tidak efisien”, “peduli dan
melindungi rakyat kecil”, “subsidi tidak tepat sasaran”, “yang tidak mau gabung jangan ngerecokin”,
“kita ketinggalan dari bangsa lain”, “jangan cuma kritik tapi kasih solusi”,
dan seterusnya. Kita bisa tambahkan lebih banyak lagi kalau mau.
Kita tidak sedang membahas soal salah dan benar dari
pernyataan-pernyataan itu. Yang coba kita lihat di sini adalah hal-hal yang kelihatan
seolah tidak nyambung itu sebetulnya sedang mengoperasikan kesadaran apa? Tapi kesadaran itu tidak begitu saja cepat kelihatan, dia bersifat
implisit, dan malahan berfungsi mirip dengan cara kerja alam bawah sadar, tidak
kelihatan tapi sangat menentukan.
Yang pertama,
hal tersebut, khususnya demokrasi inefisien, muncul dari alam bawah sadar yang menganggap
politik itu gaduh, politik itu mahal. Karena mahal, kita jadi boros. Karena boros, kita nggak bisa bangun sekolah, dan kasih makan anak-anak Indonesia,
secara gratis. Dulu, di masa awal ketika Indonesia sedang terpesona dengan
pembangunan, ada semacam kepercayaan yang mengatakan bahwa kita sulit bisa maju
kalau masih menjadikan politik sebagai panglima. Kita tahu setelah itu
masyarakat lalu dijauhkan dari politik, supaya berbaris rapi dalam derap roda
pembangunan.
Yang kedua, agar
efisiensi itu bisa terwujud, negara ini harus dipimpin oleh para ahli, yang
harus konsentrasi dan tidak boleh direcoki (politik), karena itu negara harus
membentuk Zaken Kabinet, kabinet yang isinya orang-orang ahli. Orang-orang ini
akan bekerja dengan ilmunya untuk memajukan kita semua. Negara akan tidak segan
mengambil tindakan tegas pada siapa pun yang berani ngerecoki.
Yang ketiga,
selain harus dijauhkan dari politik, para ahli tadi (technocrats) perlu dibuatkan
institusi yang bagus. Salah satu yang mungkin sering kita dengar dan cukup
mewakili hal ini adalah ‘sebagus apapun orang tapi kalau sistemnya buruk, dia
tidak akan bisa apa-apa’. Lalu kita punya cerita tentang good governance, untuk
memastikan semuanya transparan, akuntabel dan belakangan harus digital.
Pemerintah kemudian dielektronisasikan dengan e-goverment. Kita juga
sibuk membuat banyak sekali institusi, badan-badan ad hoc, satgas-satgas
dan seterusnya (state auxiliary institutions).
Keempat, argumen itu akan selalu
beriringan dengan analisis yang mengatakan, “ekonomi kita amburadul”, atau
“ekonomi kita mengalami stagnasi”, atau dengan menggunakan kata lain tapi
dengan maksud yang kurang lebih sama, “ekonomi kita bocor”.
Kelima, untuk bisa berdaulat dalam
ekonomi tadi, kita harus super curiga dengan kekuatan asing yang kapan saja bisa
mengontrol, mengendalikan bahkan menjajah ekonomi kita. Jadi entah kenapa,
meskipun cara berpikirnya liberal tapi tetap takut dengan asing. Dan yang
disebut asing ini seringnya tidak begitu jelas.
Keenam, cerita tentang anti asing,
ekonomi stagnan, dan politik yang harus dikendalikan (diefisienkan) itu hanya
bisa diterima (legitimate) kalau itu
semua dilakukan demi rakyat kecil. Itulah kenapa kita akan menjumpai retorika pro poor, wong cilik, rakyat kecil yang akan
selalu mewarnai pernyataan dan pidato-pidato.
Ketujuh, karena ini semua urusannya
membangun (ekonomi), yang paling tepat untuk memimpinnya adalah ahli-ahli. Dan
untuk membangun ekonomi itu, kita harus punya rencana dan tahapan yang jelas. Di
tahun 1951, di masa kabinet Natsir, ada namanya Sumitro Plan. Sebuah rencana
pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengembangan pertanian dan industri. Dan
kita punya REPELITA pertama setelah itu (1969-1974).
Kedelapan, efisiensi yang menjadi
dasar dari kemajuan itu hanya bisa dicapai kalau masyarakat kita memiliki
kepercayaan yang tinggi pada sains dan teknologi. Untuk itu, anak-anak,
semenjak dini, semacam diharuskan menguasai matematika dan sekarang algoritma
sebagai dasar penting sains dan teknologi.
Kesembilan, untuk bisa menguasai sains
dan teknologi tadi, negara harus mendorong anak-anak Indonesia kuliah di luar
negeri, terutama negara-negara yang sudah maju, di
kampus-kampus top dunia, dengan menyediakan beasiswa yang cukup, dan meminta
mereka kembali ke tanah air setelah lulus.
Kesepuluh, agar supaya semua itu bisa
berjalan, kita perlu mengatur jumlah ahli dengan memperbanyak teknokrat,
orang-orang dengan ilmunya yang “objektif” bisa memecahkan masalah, dan membawa
kita ke tahap yang lebih maju. Kita tidak butuh banyak filsuf yang kerjanya mengkritik
dan tidak memberi solusi.
Semua cara pandang itu biasanya disebut dengan istilah
teknokratisme. Apakah ini hanya terjadi di masa presiden yang sekarang saja? Tentu tidak. Cuma entah
kenapa siapa saja pemimpinnya akan sulit menghindar untuk tidak mengoperasikan kesadaran itu, dengan dosis,
gaya, gimmick, dan diksi yang berbeda-beda.
Tentu saja boleh untuk tidak setuju dengan semua itu. Setidaknya
sekarang kita bisa melihat urutan cara berpikirnya, dan kita jadi tahu bagaimana
pernyataan-pernyataan yang kelihatan berserakan dan tidak karuan itu,
berhubungan satu sama lain.
Lalu apa kaitannya dengan demokrasi? Sekarang kita
bisa bertanya, lebih penting mana mempersoalkan kenapa demokrasi kita tidak
efisien dan boros atau kenapa demokrasi yang kita jalankan sejauh ini tidak
juga kunjung menciptakan equality
untuk semua?
Ini bukan sekedar mengubah pertanyaan, ada implikasi
panjang dan mendasar dibalik semua itu.
[ATI]
Komentar
Posting Komentar