KRISIS SUDAH DI DEPAN MATA, KENAPA MASIH DISKUSI SAJA: MENGENALI PROSES DEPOLITISASI EKOLOGI

 

sekolahrisetsatukata,-


Judul di atas mungkin mewakili sebagian kalangan yang merasa jengkel dengan banyak sekali omong kosong berbusa-busa padahal masalahnya sudah terjadi di depan mata hidung dan telinga, dan membutuhkan aksi yang segera. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan ekologi, jangan terlalu banyak diskusi, langsung kerja, langsung aksi. Kalaupun diskusi, bisa nggak diskusinya tetap dalam kerangka aksi, bukan mikir ini dan itu lagi. Kalaupun riset, risetnya itu harus riset aksi bukan riset akademik.

Ini kritik yang sangat penting dan cukup mengguncang. Kalau kita ikuti kritik ini, maka kelas-kelas seperti master class politik ekologi jadi kelihatan tidak ada manfaatnya. Kenapa kritik seperti itu penting? Sebetulnya kalau kita runut, cara berpikir seperti ini bersumber dari kata-kata Marx yang sangat terkenal, yang kira-kira mengatakan ‘para filsuf hanya memikirkan dunia, mereka tidak mengubahnya’.

Kalau dirunut lagi kita akan sampai pada formulasi Gramsci tentang intelektual organik, yang maksudnya kira-kira merujuk pada kelompok yang tidak hanya berpikir di menara gading, tapi terlibat dalam aksi-aksi nyata di lapangan. Lalu, kita mengenal ada intelektual organik dan intelektual menara gading. Dan dalam cerita tentang krisis ekologi, terutama bagi yang lebih suka aksi, yang dicari adalah jenis intelektual yang pertama, yaitu orang-orang yang tak banyak bicara tapi langsung bekerja, menawarkan solusi dan bertindak nyata.

Sering juga kita menjumpainya diartikulasikan dalam bahasa lain, misalnya praktisi dan akademisi. Praktisi dianggap lebih tahu masalah, lebih punya pengalaman, tidak terlalu banyak diskusi, dan langsung aksi. Sebaliknya akademisi, banyak berkutat dengan pikiran-pikiran, kurang tindakan. Praktisi lebih punya solusi dan akademisi sukanya memproblematisasi.

Meskipun hal itu tetap penting, tapi bisakah kita memikirkan cara lain. Mungkin persoalan yang lebih mendasar sepertinya bukan di situ, tapi pada proses yang diam-diam seperti dibiarkan saja dan hal itu sebenarnya telah membawa ekologi mengalami semacam proses depolitisasi. Ancaman depolitisasi ini sebenarnya cukup serius, namun tidak cukup kelihatan ketika ia menyelinap persis pada saat semua didorong untuk segera bertindak, segera menawarkan solusi di level individual, tanpa memproblematisasi pertanyaan-pertanyaan.

Kecenderungan ini dapat mengakibatkan beberapa proses menuju depolitisasi ekologi (de-ekologisasi) semakin cepat. Yang pertama, de-ekologisasi didorong oleh kecenderungan yang kuat untuk segera mengambil tindakan pencegahan dan pemulihan di level yang sangat individual. Kecenderungan ini bersumber dari keyakinan bahwa semua persoalan ekologi bersumber dari kesadaran dan komitmen orang perorang.

Kedua, dalam jangka panjang kecenderungan seperti ini menciptakan pemahaman umum yang pada akhirnya menganggap bahwa urusan lingkungan, termasuk soal mengelola sampah, adalah urusan pribadi masing-masing orang. Bisakah kita melihatnya masuk akal ketika kerusakan lingkungan sebagai dosa kolektif, tapi tanggungjawabnya coba dialihkan dan diserahkan kepada masing-masing orang. Ini artinya kalau pembangunan menguntungkan biarlah untungnya dinikmati oleh para pelaku pembangunan utama, tapi kalau pembangunan merusak lingkungan, mari kita tanggung bersama risikonya. 

Coba kita ilustrasikan sedikit ke soal kebijakan penambangan nikel besar-besaran demi mengejar pertumbuhan dan kemajuan. Kalau tambang nikel, termasuk tambang jenis lain dan bentuk-bentuk industri ekstraktif lainnya menguntungkan, maka untung terbesarnya akan diambil oleh aktor yang terlibat di dalamnya, siapa yang memegang saham paling besar. Tapi, kalau semua itu melahirkan risiko lingkungan, kita semua harus menanggungnya bahkan juga orang-orang yang tidak pernah terkait langsung dengan kebijakan itu.

Ketiga, sampai di sini kelihatannya masih oke. Hal yang bisa jadi tidak disadari adalah ketika ekologi ini sudah dianggap sebagai kebajikan individual, itu artinya ia diserahkan sebagai pilihan bebas masing-masing orang (free choice). Ketika free choice ini menjadi asas moral tertinggi dalam soal lingkungan maka ia tidak boleh dipaksa dan tidak boleh diintervensi. Kenapa demikian karena ia sudah menjadi keputusan individual, memaksanya sama dengan melanggar haknya sebagai manusia bebas. 

Keempat, lalu apa masalahnya kalau ekologi ini urusan pilihan bebas, bukankah memang semua orang harus punya komitmen terhadap lingkungan? Betul sekali, tapi apakah pernah misalnya anda menjumpai keluhan yang memprihatinkan kenapa urusan lingkungan ini hanya jadi lips service saja. Keluhan ini tidak salah, ia hanya sedang menyaksikan implikasi langsung dari proses panjang yang diam-diam menaruh isu lingkungan sebagai free choice tadi. Implikasi adalah isu lingkungan kemudian dianggap sebagai life style saja.

Pada kenyataannya sebagai life style, ia adalah life style yang mahal. Dan yang paling bisa mengaksesnya adalah orang-orang kelas menengah atas terdidik urban. Lalu, jangan heran bila kemudian menyaksikan bahwa orang desa sebetulnya krisis lingkungan bukan merupakan isu yang paling mengkhawatirkan. Tak bisa diingkari memang pada kenyataannya hampir semua yang ramah lingkungan itu bisa dibilang, untuk tidak mengatakan mahal, cukup bernilai tinggi.

Kalau kita kembali ke soal di atas terkait dengan yang berorientasi aksi dengan yang diskusi, yang organik dan yang menara gading, juga yang praktisi dan akademisi, keduanya tetap punya peran penting, hanya saja kalau tidak hati-hati keduanya bisa terjatuh juga dalam proses depolitisasi dan deekologisasi, yang dengan tanpa disadari melepaskan persoalan relasi kuasa dari krisis lingkungan.  [AT]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi