Desir-Desir Pasir Diekspor: Sedimen atau Sedimentasi Metabolic Rift


 Sekolah Riset Satukata-Menarik mengikuti perkembangan pro dan kontra rencana kebijakan ekspor sedimen/pasir laut akhir-akhir ini. Sebagaimana banyak diberitakan, pemerintah akan menjual sedimen pasir laut ke Singapura.

Bagi pemerintah sedimen ini bukan bagian dari ekosistem laut melainkan sesuatu yang bersifat residu dari proses-proses alamiah di laut. Sebagai sebuah residu maka pengambilannya tidak akan berpengaruh pada ekosistem, bahkan bisa membuat kerja ekosistem menjadi semakin baik.

Di sisi yang lain kelompok pro lingkungan melihat kebijakan itu hanya cara pemerintah mencari alasan untuk menjual pasir laut Indonesia. Kemudian perdebatan berputar pada menentukan arti sedimentasi. Pemerintah tetap bersikukuh bahwa sedimen bukan pasir laut sementara bagi para aktivis kebijakan itu tetap merusak ekosistem laut.

Kalau hal itu ditarik dalam cerita tentang politik ekologi kritis kira-kira apa yang bisa kita lihat? Sudah tentu ceritanya bisa banyak sekali. Tapi coba untuk kali ini kita menaruhnya dalam cerita tentang keretakan metabolik atau metabolic rift. Pertama, yang musti kita perlu perhatikan, konsep tersebut adalah konsep yang dipakai oleh Karl Marx ketika ia menjelaskan tentang proses terjadinya pembelokan labour dari yang subsistensi ke eksploitasi.

Melalui konsep itu Marx hendak menjelaskan tentang perubahan dari relasi metabolik (metabolic relations) menjadi keretakan metabolik (metabolic rift), di mana perubahan tersebut muncul bersamaan dengan intervensi di wilayah labour.

Marx mau mengajak kita untuk melihat bahwa hubungan manusia dengan alam yang akhirnya menimbulkan kerusakan seperti yang kita saksikan sekarang ini tidak terjadi secara langsung. Kenapa demikian karena pada mulanya meskipun manusia punya banyak sisi yang membedakannya dengan hewan tapi mereka punya kesadaran kolektif bahwa manusia itu bagian dari alam.

Di sini alam dan manusia posisinya sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Merusak alam sama dengan merusak dirinya sendiri, merusak alam sama dengan bunuh diri. Marx sendiri juga yakin hubungan antara manusia dengan alam itu bersifat ekosistemik, saling mengisi dan saling beradaptasi.

Marx kemudian memberi nama spesifik terhadap hubungan yang seperti itu, nama itu adalah metabolic relations. Inilah argumen yang biasanya digunakan oleh teman-teman yang membela masyarakat adat atau hak-hak orang asli. Masyarakat adat dan tempat tinggalnya adalah satu kesatuan metabolik.

Hutan, padang lamun atau perairan merupakan ruang hidup yang tak bisa dipisahkan, sehingga menghancurkan ruang hidup itu sama dengan membunuh orang-orang yang tinggal di sana sejak lama.

Tapi apa yang mau dia katakan tentang metabolic relations itu? Dengan konsep itu Marx mau memberi tahu bahwa begitulah seharusnya kehidupan manusia yang sesungguhnya. Tapi hubungan itu tidak terjadi secara langsung melainkan diperantarai oleh proses sosial, politik dan kultural tertentu yang namanya labour. Ini adalah upaya untuk mengubah alam sesuai dengan kebutuhan kita.

Memakan ikan di laut misalnya, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa upaya memancing, menombak, menjaring dan sebagainya. Upaya-upaya inilah yang disebut dengan labour, termasuk juga membeli jaring, alat pancing, menyiapkan kapal dan seterusnya. Labour ini membutuhkan juga teknologi, pengorganisasian sosial, skill dan pengetahuan khusus. Labour inilah yang menurut Marx membuat relasi metabolik bisa terus bertahan.

Kalau demikian lalu bagaimana kok sekarang kita menyaksikan kerusakan lingkungan yang skala terjadinya sangat massif? Marx sudah sejak lama mengantisipasinnya dan dia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa metabolic relations itu sekarang sudah hancur digantikan oleh metabolic rift.

Tapi bagaimana proses perubahan dari metabolic relations menjadi metabolic rift itu terjadi? Yang dikacaukan pertama kali bukan alam atau manusianya, tapi kata Marx, yang mula-mula dibuat hancur lebih dulu adalah labournya.

Lalu apa yang dilakukan terhadap labour ini sehingga ia tidak lagi dapat menjadi penopang bagi relasi metabolik? Yang pertama, labour ini tidak lagi diarahkan untuk subsistensi, tetapi dikerangkai dalam upaya untuk menghasil barang yang bisa dijual. Yang kedua, labour ini bukan lagi diorientasikan untuk bertahan hidup tapi untuk memperoleh profit dan profit ini tidak ada batasnya. Yang ketiga, untuk bisa menghasilkan profit, manusia dan alam tidak bisa lagi diposisikan secara sejajar.

Keduanya harus dibuat terpisah dulu dan diciptakan hirarki di mana manusia posisinya lebih tinggi dari alam. Hirarki ini penting untuk menempatkan manusia sebagai raja atas alam, punya kuasa atas alam, dan alam harus melayani manusia.

Kalau kita tengok sejarah upaya mengacaukan labour ini tidak terjadi secara mulus-mulus saja. Seringnya upaya itu dilakukan secara brutal mulai dari mengubah sistem hukum, memobilisasi aparat kekerasan, bahkan juga mereorganisasi sistem politik, sehingga dalam jangka waktu yang sangat lama justru metabolic rifts itu yang menjadi kenormalan baru dan semua orang berpikir dengan cara itu.

Sampai di sini, sekarang kita jadi lebih mengerti, kenapa untuk menjual pasir laut misalnya harus dicari istilah yang mengkonotasikan bahwa itu bukan bagian dari alam. Jadi, memang untuk melakukan metabolic rift ini sesuatu yang awalnya bagian dari alam harus dilepaskan dulu dari alam persis seperti proses bagaimana manusia lebih dulu ditanggalkan dari alam.

Memang semua itu urusanya hanya dengan profit, growth, pembangunan dan kapital. Jadi, yang kita saksikan bukan sekadar sedimen pasir tapi sebetulnya itu adalah bentuk dari sudah tersedimentasinya metabolic rift. Dan cerita seperti ini masih akan terus kita temui di masa depan. [AT]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi