Butler, UKT dan Formasi Subjek
Hari-hari ini
sedang ramai Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang makin mahal justru di kampus-kampus
negeri. Mahasiswa di beberapa kampus menggelar protes menolak kebijakan itu.
Sementara seorang pejabat Dikti dan beberapa elit kampus merespon dengan nada
santai. Ada yang mengaitkannya dengan sebuah kewajaran karena kampus tak ada
bedanya dengan cabe, minyak goreng dan tepung terigu. Kalau barang-barang ini
naik di pasaran maka wajar kalau UKT juga naik. Ada juga yang menghubungkannya
dengan kebutuhan. Kuliah itu bukan kebutuhan primer. Jadi tidak wajib. Artinya
kalau anda tidak mampu bayar kuliah, bukan dosa kalau akhirnya tidak kuliah.
Dan seterusnya.
Bahwa UKT mahal harus ditolak sudah tentu harus didukung. Tapi kalau universitas ditanya soal ini, mungkin jawabannya akan tidak jauh-jauh dari, “sulit sekali kami menghindarinya”. Ini artinya ada sesuatu di luar kita yang mengharuskan kita menolak UKT mahal. Juga ada sesuatu di luar kampus yang “memaksa”nya tidak bisa menghindar dari menaikkan UKT. Pertanyaannya sesuatu yang di luar kita itu apa sehingga ia punya pengaruh kuat sekali dalam membentuk siapa diri kita dan diri kita itu menentukan sikap kita. Kalau ini kita bawa ke cerita UKT, apa yang ada di luar universitas yang membuatnya tidak bisa menghindari kenaikan UKT, dan apa di luar mahasiswa yang membuat mereka menolak kenaikan UKT. Sesuatu yang ada di luar inilah yang membentuk formasi subjek universitas dan mahasiswa, sehingga keduanya menempati posisi subjek yang berbeda.
Tapi apa urusannya
cerita UKT itu dengan Butler? Sudah pasti, kalau kita cari tulisan Butler yang
membahas soal UKT tidak akan ketemu. Tapi kita coba meletakkan cerita UKT ini
ke dalam kerangka subject formation
yang menjadi salah satu titik pergulatan Butler dalam membangun teorinya.
Pertanyaan mendasar yang digelutinya adalah bagaimana perempuan menjadi
perempuan? Pertanyaan ini bisa diperluas dengan mengganti perempuan dengan
hal-hal lainnya misalnya laki-laki, Indonesia, mahasiswa, universitas, muslim moderat,
dosen, ayah, ibu dan seterusnya. Bisa juga pertanyaan itu diajukan kepada diri
sendiri, bagaimana saya menjadi diri saya, apakah saya menjadi seperti ini
sepenuhnya karena keinginan saya, atau bagaimana?
Lalu bagaimana Butler menjawabnya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat panjang. Dia menulis banyak buku untuk menjelaskannya. Bahkan bisa dikatakan pertanyaan itulah yang menghantui semua isi bukunya. Dari jawaban yang panjang itu kalau disederhanakan kira-kira dia mau mengatakan bahwa kita ini menjadi diri kita bukan karena keinginan kita sendiri. Saya menjadi saya bukan karena keinginan saya sepenuhnya. Kalau kita bawa ke cerita UKT, persis seperti ini, kami menaikkan UKT bukan karena keinginan kami. Mungkin memang ada andil dari diri saya tetapi sesuatu di luar saya itu begitu kuat mengokupasi diri saya sehingga saya menurutinya bahkan dia bisa menentukan saya ini siapa. Dalam cerita tentang perempuan, perempuan itu menjadi perempuan lebih banyak bukan karena keinginan perempuan sendiri. Ada banyak hal di luar perempuan yang meminta, menyuruh, memaksa, mendorong perempuan menjadi perempuan. Begitulah kira-kira Butler mencoba membayangkannya.
Terus sesuatu yang
di luar itu apa? Tapi sebelum ke situ, kok rasa-rasanya Butler ini secara tidak
langsung mau mengatakan bahwa proses bagaimana kita menjadi diri kita itu penuh
paksaan atau dengan kata lain terjadi secara opresif. Betul sekali. Jika
demikian, pertanyaannya adalah apakah tidak ada celah sedikitpun untuk menolaknya atau
menghindarinya? Kalau kita bisa menghindar lalu apa alternatifnya? Bisa
dibilang di sinilah titik pusat teorisasinya.
Dalam rangka mencari tahu strategi-strategi menghindari dari proses subjektivikasi itulah yang membuatnya melahirkan cara berpikir troubling atau queering. Dalam pengertian dia berupaya mendestabilisasi atau mengganggu kekuatan-kekuatan yang mensubjektivikasinya.
Kembali ke cerita
soal UKT di atas, kehebohan itu semacam bunyi alarm yang memberi tahu bahwa
selama ini sebetulnya ada sesuatu yang menyubjektivikasi atau mengopresi dunia
pendidikan tinggi kita, sehingga universitas, dosen dan mahasiswa harus
mengikutinya meskipun dengan terpaksa. Oleh sebab itu, yang dilakukan oleh
dunia akademik kita harusnya mengurai “sesuatu” tersebut, dan
mendestabilisasinya. Bukan mau melemahkan aksi protes mahasiswa, tapi apa yang
terlihat adalah antara mahasiswa dan kampus tidak sadar telah dibuat saling berhadapan,
sehingga “sesuatu” yang mengopresi dan menyubjektivikasi dunia pendidikan
tinggi kita tetap dibiarkan tak tersentuh.
Kita bisa memberi banyak nama pada “sesuatu” itu. Bisa kapitalisme pendidikan, komersialisasi pendidikan tinggi, liberalisasi pendidikan, teknokratisasi pendidikan, industrialiasi pendidikan, dan seterusnya. Sayangnya diskusi soal ini sudah lama tak terdengar lagi. [AT]
Komentar
Posting Komentar