Hegemoni Struktural Dalam Ke-Indonesia-an

Sekolah Riset,- Tidak Suka Musik, Apa Salahnya? 
Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan dengan berita para santri menutup telinga saat diputar music. Peristiwa itu terjadi ketika para santri sedang antri menunggu vaksinasi covid 19, dan dalam ruangan tersebut tersaji alunan musik. Mungkin maksut panitia dengan memutar music saat proses mengantri yakni agar tidak timbul rasa bosan yang nantinya berakibat pada kejenuhan dan menurunnya stamina imun. 

Namun, peristiwa santri menutup telinga tersebut mendapat respon dari berberapa pihak, termasuk dari warganet. Sebagian warganet menilai aksi tutup telinga santri tersebut sebagai kelompok radikal. Hal ini juga didukung oleh Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono yang turut mengunggah video itu di akun Instagramnya dan disertai kritik. 

"Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There's nothing wrong to have a bit of fun !!" tulis Diaz di Instagramnya. 

Unggahan video tersebut sempat menimbulkan polemik karena Diaz Hendropriyono juga menuliskan kalimat yang menyudutkan tindakan santri tersebut, yang menurutnya bertentangan dengan sikap pemerintah yang selama ini menjunjung toleransi ummat beragama. 
 
Senada dengan pernyataan Diaz Hendropriyono terkait dengan radikalisme, Susaningtyas Kertopati juga sempat menjadi sorotan public terkait pernyataannya mengenai paham radikalisme di sekolah – sekolah. Susaningtyas khawatir dengan murid – murid yang tidak mau hormat pada bendera Merah – Putih dan juga tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Menurutnya, itu bahaya jika mengarah pada terorisme dan radikalisme. 
 
"Bagaimana kita mau tidak khawatir ya, kalau anak muda kita, lalu murid-murid di sekolah sudah tidak mau menghormat pada Merah-Putih, lalu tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sebagainya dan semua itu berbahasa Arab. Saya bukannya mengatakan lalu bahasa Arab itu tidak baik, konotasi (bahasa Arab) itu teroris, tidak. Kalau itu arahnya sudah terorisme, radikalisme, itu bahaya," paparnya. Dilansir dari detik.com. 

Berangkat dari fenomena sosial atau peristiwa kasus di atas, oleh beberapa pemerhati sosial dikatakan bahwasanya apapun bentuk atau perilaku masyarakat yang meanmpilkan atribut dan simbol yang kontras dianggap “melucuti” nilai karena berseberangan dengan paham ataupun tatacara berwarganegara yang ideal. 
 
Namun peristiwa di atas perlu kita analisis kembali menurut struktur teori Laclau yang telah dipaparkan dalam pertemuan seri Laclau beberapa minggu yang lalu. Seperti yang disampaikan oleh pemateri saat itu bahwa nodal point mempunyai peran penting dalam mengkonfirmasi suatu masalah untuk mencapai hegemoni. 

Nodal point mempunyai peranan validasi permasalahan atau obyek, yang dalam konteks di atas yakni seperti tidak mau hormat pada bendera Merah – Putih, tidak mau mendengarkan musik dsb, itu adalah penanda mengambang (floating signifier). Karena dari pandangan beberapa tokoh poin – poin tersebut belum tentu berpaham radikalis. Dan untuk memastikan bahwa mereka menganut paham radikalis maka perlu dilakukan pengujian atau kajian lebih mendalam untuk memvalidasi apakah mereka memang benar – benar menganut paham radikalis. 

Seperti yang diungkapkan oleh pemateri bahwa nodal point akan berfungsi jika terdapat surplus of meaning karena domain nodal point adalah field of discursivity. Hal ini berbeda dengan hegemoni karena hegemoni beroperasi di wilayah antagonisme, yangmana jika tidak ada antagonisme tidak akan ada hegemoni. Jadi hegemoni ini berfungsi memfiksasi makna ketika terjadi antagonisme. 

Hegemoni Dalam Konteks Kemerdekaan Indonesia 

Hegemoni merupakan sebuah bentuk penguasaan atau dominasi atas unsur – unsur kehidupan masyarakat. Tujuan menghegemoni yakni untuk menguasai segmen – segmen yang ada di masyarakat, mulai dari norma, kultur dan biasanya dalam bidang politik. Dampaknya bagi masyarakat yang terhegemoni, mereka akan mengikuti system yang sudah dibakukan oleh sang hegemoni. 

Dalam hegemoni terdapat kelompok yang menjadi lawan atau antagonis, jika tidak ada antagonis maka hegemoni tidak akan berjalan. Kerena hegemoni berfungsi memfiksasi makna ketika terjadi antagonisme. Dalam relasi antagonisme antara Indonesia dan Belanda ini, yang dilakukan hegemoni adalah dia mengisi content yang bukan Belanda. Indonesia ini menempati posisi sebagai nama untuk “bukan Belanda”. Indonesia ini lalu mencakup apa saja yang bukan Belanda, mulai dari wilayah, penduduk, bendera, lagu kebangsaan, angkatan perang dan seterusnya. 

Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah bahwa sebelum sebelum abad 20, nama Indonesia belum ada. Saat itu yang ada hanya antagonisme saja dalam bentuk yang beragam seperi perang Jawa, Pangeran Diponegoro, ada Pattimura, ada Teuku Umar dan seterusnya. Masing-masing berperang dengan alasan sendiri-sendiri, dalam arti semua mengoperasikan logic of difference. Tapi semuanya juga equivalence atau disatukan oleh karena sama-sama menolak Belanda. Belanda menjadi musuh bersama meskipun saat itu belum ada komunikasi yang satu komando untuk melawan Belanda. 

Pada tahap berikutnya, dalam proses antagonisme ini, kemudian terbentuk sebuah struktur baru atau identitas baru, yang content-nya menolak Belada, dan konten ini diisi namanya dengan “Indonesia”. Artinya ada signifier tertentu (Indonesia) yang mengisi kekosongan (anti-Belanda) supaya ada kontennya. Upaya yang menempatkan Indonesia di satu titik di mana dia bisa berarti, dan kalau bilang Indonesia maka artinya adalah bukan Belanda, tindakan ini disebut dengan intervensi hegemonik, di mana hegemoni sebagai proyek sedang beroperasi. 

Dalam kerangka leadership, kita bisa katakakan bahwa siginifier yang namanya Indonesia ini menempati posisi seperti komandan yang memimpin perlawanan-perlawanan partikular yang terpisah-pisah. Dia bisa memimpin karena dia menamai apa saja yang tidak suka dengan Belanda. Ketika Indonesia ini tampil sebagai discourse yang hegemonik, lalu biasanya dia mengalami proses metonimik. 
 
Metonimi ini istilah dalam linguistik yang biasanya dilawankan dengan istilah metafora. Kalau metafora adalah semacam tindakan membuat pengandaian, maka metonimi ini menyebut sebagian tapi untuk mengatakan semuanya. Misalnya, kita menyebut ‘istana Presiden’, ini artinya pemerintah Indonesia. Bendera merah putih juga menjadi metonimi dari Indonesia. Indonesia yang hegemoni ini beroperasi secara metonimik. 
 
Perlawanan-perlawanan yang partikular dan tersebar yang anti-Belanda tadi lalu merasa menjadi bagian dari nama Indonesia. Mereka, perlawanan-perlawanan kecil itu kemudian menjadi simbol-simbol kecil dari Indonesia. Begitu juga kalau kita lihat reformasi 98. Beda-beda tapi menjadi kolektifitas karena anti-soeharto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Kolektif

Sigmund Freud ; Psikoanalisis Dalam Kejiwaan Manusia

Etika dalam Disrupsi